Oleh: Eka Sugeng Ariadi
(Guru Bahasa Inggris MAN 1 Pasuruan)
Murah berkualitas, mustahilkah? Idiom yang beredar di masyarakat menjawab berkualitas itu identik mahal dan murah itu tidak mungkin berkualitas. Murah itu linier dengan hal-hal kurang berharga, kurang fasilitas, kurang terawat, dan rendah kualitas, sebaliknya mahal itu setara dengan serba lengkap, serba ada, dan tentunya tinggi kualitasnya. Dalam sebuah talk show di stasiun TV tentang perbandingan biaya pendidikan, menurut Prof. Nizam –Dirjen Perguruan Tinggi Kemendikbudristek–, mengatakan bahwa biaya pendidikan di negeri ini lebih rendah, tidak mahal, lebih murah dibandingkan negara tetangga semisal Singapura dan Malaysia. Apakah bisa dengan mudah disimpulkan bahwa kualitas pendidikan di negeri ini rendah/kualitasnya rendah? Agak susah untuk tidak menjawab iya. Namun, bila kita baca berita di media massa, menurut opini masyarakat, analisis media, pengamat pendidikan, termasuk mahasiswa dan dosen, ternyata biaya pendidikan di negeri ini semakin tahun semakin mahal. Nah, berarti menghasilkan kesimpulan terbalik bahwa kualitas pendidikan di negeri ini sudah berkualitas, benarkah? susah juga untuk menjawab belum benar.
Pemerhati pendidikan pasti mafhum bahwa tolok ukur kualitas pendidikan di sebuah negara salah satunya ditunjukkan dari hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment) yang diselenggarakan oleh lembaga internasional OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Kemendikbudristek melansir hasil PISA tahun 2018 menunjukkan posisi Indonesia masih berada di peringkat 10 negara terbawah dari 73 negara peserta PISA. Alhasil, meskipun biaya pendidikan di Indonesia diklaim satu pihak semakin mahal atau di pihak lain masih dalam kategori murah, data dan analisis yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di negeri ini masih rendah.
Kembali pada idiom murah berkualitas, mustahilkah? Ternyata tidak juga. Di laman edukasi.sindonews.com dipaparkan ada 5 negara yang mampu menghadirkan pendidikan gratis dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi namun berkualitas tinggi. Kelima negara tersebut adalah Finlandia, Norwegia, Slovenia, German, dan Swedia. Kita coba baca analisis dari Pasi Sahlberg (penulis buku terlaris Finnish Lessons: What Can the World Learn about Educational Change in Finland?) dan Peter Johnson (Direktur Pendidikan Kota Kokkola di Finlandia) tentang apa yang dilakukan Finlandia sehingga memiliki idiom murah berkualitas. Dalam esai mereka dinyatakan bahwa di Finlandia lembaga-lembaga pendidikan tidak boleh dikelola sebagaimana perusahaan yang fokusnya berlomba-lomba mencari keuntungan/laba/profit sebanyak-banyaknya, akan tetapi lembaga pendidikan harus dikelola secara profesional dengan satu tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengedepankan kolaborasi, kepercayaan, dan tanggung jawab kolegial antara sekolah dan lembaga di luar sekolah. Dengan membaca satu poin catatan ini, maka pantaslah negara ini mampu memberikan pendidikan yang murah (namun tidak murahan) karena pola pikir yang dipegang adalah lembaga pendidikan bukan untuk mencari keuntungan/profit/laba sehingga tidak perlu membebani siswa atau orang tua siswa dengan berbagai macam biaya. Fokus lembaga pendidikan semata-mata memberikan jaminan kualitas pendidikan yang baik sejak dari awal masuk sekolah hingga lulus sekolah. Adapun pembiayaan sekolah dinyatakan sebagai bentuk tanggung jawab bersama (kolegial) antara pemerintah dan masyarakat (stakeholder) pendidikan.
Berdasarkan praktik nyata di Finlandia dan bisa jadi juga terjadi di keempat negara lainnya, tiga hal penting yang perlu menjadi pedoman dalam menyajikan pendidikan murah berkualitas adalah (1) tegak lurusnya pola pikir (mindset) dalam mengelola lembaga pendidikan, (2) terfokusnya perhatian semata pada peningkatan kualitas pendidikan, dan (3) kepedulian/kepekaan sosial stakeholder pendidikandi sekitar lembaga pendidikan pada pembiayaan sekolah di daerahnya. Tegak lurusnya pola pikir pengelola lembaga pendidikan dalam menjalankan roda kehidupan lembaganya sangat penting dalam menentukan mahal murahnya biaya pendidikan yang harus ditangung oleh peserta didik. Pengelola harus memiliki pola pikir dan kesadaran yang sebenar-benarnya bahwa lembaganya bukanlah sebuah perusahaan atau usaha bisnis yang memproduksi benda, kemudian memasarkannya dengan memperhitungkan keuntungan finansial sebanyak-banyaknya, melainkan sebuah institusi yang nirlaba dan khusus mencetak insan-insan manusia yang berilmu dan berkarakter.
Perubahan mindset yang berdampak pada perubahan kesadaran akan tujuan mulia sebuah lembaga pendidikan akan berdampak signifikan pada menguatnya fokus perhatian pengelola lembaga pendidikan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikannya. Peningkatan kualitas pendidikan bukanlah hal sepele yang bisa dilakukan dengan usaha ala kadarnya, akan tetapi butuh kerja keras, manajemen yang terbaik, dan profesionalisme yang tinggi. Kepala Sekolah, tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan serta semua warga sekolah harus memiliki fokus dan tujuan akhir yang sama, yakni terciptanya kualitas pendidikan.
Untuk mendukung kedua aspek di atas, tidak bisa dipungkiri sebuah lembaga pendidikan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk menjalankan operasional lembaga sehari-hari. Maka, sangat dibutuhkan kepekaan/kepedulian sosial dari semua pihak (stakeholder) pendidikan yang ada di sekitar lembaga tersebut. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, maupun lembaga swasta dalam kaitannya dengan pembiayaan pendidikan tentunya sangat diharapkan. Pemerintah sebagai pihak yang memberikan alokasi dana pendidikan sesuai kemampuan anggaran negara, memberikan prioritas perhatian dan kebijakan yang berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan, dan memberikan regulasi yang menguatkan partisipasi publik dalam bergotong-royong membantu berkembangnya lembaga pendidikan ke arah yang lebih baik. Masyarakat dan lembaga swasta memberikan dukungan dalam implementasi kebijakan pemerintah yang disertai adanya kepercayaan, kolaborasi, dan kesamaan rasa tangung jawab. Ketiga karakter ini menjadi kata kunci keberlangsungan berjalannya roda kehidupan, kemajuan, dan peningkatan kualitas sebuah lembaga. Penguatan karakter ini tidak dapat diabaikan karena telah masyhur Finlandia bukan saja menjadi negara dengan pendidikan yang murah dan berkualitas, akan tetapi menjadi negara yang memiliki kualitas hidup yang tinggi dikarenakan memiliki karakter/budaya kejujuran atau rasa saling percaya yang tinggi antarsesama warganya. Alhasil, menyajikan pendidikan yang murah berkualitas yang bisa diandalkan adalah sebuah keniscayaan atau tidak mustahil untuk diwujudkan. Negeri kita, Indonesia, tentu memiliki peluang untuk menjadi Finlandianya Asia Tenggara. Mengubah pola pikir, menguatkan fokus, dan meningkatkan kepedulian warganya dapat dilakukan secara masif dan terstruktur mulai dari Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah melalui berbagai macam program dan implementasi kebijakan baik secara implisit maupun eksplisit. Memang tidak mudah, akan tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk direalisasikan.