Meningkatkan HOTS dan Karakter Siswa dengan Pemanfaatan Pembelajaran Berbasis Masalah
Oleh: Akhmad Huda, M.Pd.
(Guru MAN 1 Pasuruan)
Kurikulum 2013, selain mengedepankan pentingnya memfasilitasi keterampilan berpikir tingkat tinggi juga menginginkan agar pembelajaran ikut mengembangkan nilai-nilai karakter. Hal ini bertujuan agar terjadi keseimbangan antara kemampuan intelektual dan karakter, sebagaimana tertuang dalam tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dalam pendidikan karakter pentingnya menekankan tiga komponen karakter yang saling berhubungan yaitu moral knowing, moral feeling dan moral action (Lickona, 1991). Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter, dalam Kurikulum 2013 telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, dan religius (Kemendiknas, 2011). Adapun strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan pendidikan karakter meliputi keteladanan, intervensi, pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan (Zuchdi, Prasetya, Masruri, 2012). Untuk mendukung keterlaksanaan strategi tersebut dalam pembelajaran, maka diperlukan suatu model pembelajaran yang memuat pendidikan karakter sekaligus berorientasi pada HOTS.
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Model tersebut merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai kompetensi/tujuan pembelajaran yang diharapkan. Model pembelajaran adalah pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas yang menyangkut pendekatan, strategi, metode, teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Dalam suatu model pembelajaran ditentukan bukan hanya apa yang harus dilakukan guru, akan tetapi menyangkut tahapan-tahapan, prinsip-prinsip reaksi guru dan siswa serta sistem penunjang yang disyaratkan Menurut Arends (dalam Suprijono, 2013: 46) model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang digunakan termasuk di dalamnya tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas. Menurut Joice& Weil (dalam Isjoni, 2013: 50) model pembelajaran adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya. Sedangkan Istarani (2011: 1) model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum, sedang dan sesudah pembelajaran yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam proses belajar.
Menurut Amri (2013: 34) model pembelajaran kurikulum 2013 memiliki empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut yaitu: 1) Rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya. 2) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai). 3) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil. 4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
Dalam pembelajaran yang efektif dan bermakna peserta didik dilibatkan secara aktif, karena peserta didik adalah pusat dari kegiatan pembelajaran serta pembentukan kompetensi dan karakter. Model pembelajaran sangat erat kaitannya dengan gaya belajar peserta didik dan gaya mengajar guru. Usaha guru dalam membelajarkan peserta didik merupakan bagian yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan.Oleh karena itu pemilihan berbagai metode, strategi, teknik maupun model pembelajaran merupakan suatu hal yang utama.
Dari pendapat ahli diatas, peneliti menyimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola atau perencanaan yang di rancang untuk menciptakan pembelajaran di kelas secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Model-model pembelajaran memiliki banyak variasi, salah satunya model Explicit Instruction.
Higher Order Thinking Skill ( HOTS )
Keterampilan berpikir merupakan gabungan dua kata yang memiliki makna berbeda, yaitu berpikir (thinking) dan keterampilan (skills). Berpikir merupakan proses kognitif, yaitu mengetahui, mengingat, dan mempersepsikan, sedangkan arti dari keterampilan, yaitu tindakan dari mengumpulkan dan menyeleksi informasi, menganalisis, menarik kesimpulan, gagasan, pemecahan persoalan, mengevaluasi pilihan, membuat keputusan dan merefleksikan (Wilson, 2000). Higher Order Thinking Skill (HOTS) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi dijelaskan oleh Gunawan (2003) adalah proses berpikir yang mengharuskan siswa untuk memanipulasi informasi yang ada dan ide-ide dengan cara tertentu yang memberikan mereka pengertian dan implikasi baru. Misalnya, ketika siswa menggabungkan fakta dan ide dalam proses mensintesis, melakukan generalisasi, menjelaskan, melakukan hipotesis dan analisis, hingga siswa sampai pada suatu kesimpulan. Rosnawati (2013) menjelaskan kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi yang baru diterima dengan informasi yang sudah tersimpan di dalam ingatannya, kemudian menghubunghubungkannya dan/atau menata ulang serta mengembangkan informasi tersebut sehingga tercapai suatu tujuan ataupun suatu penyelesaian dari suatu keadaan yang sulit dipecahkan. King et al. (2013) mengkategorikan HOTS sebagai berikut: (1) berpikir kritis dan berpikir logis, (2) berpikir reflektif, (3) berpikir metakognitif, dan (4) berpikir kreatif. Cara mengevalusi HOTS peserta didik dapat ditempuh dengan cara mengukur melalui beberapa cara, yaitu (1) memilih ( mult iple – choice , matching , dan rank – order items ), (2) menggeneralisasi (jawaban singkat, esai), dan (3) memberi alasan.
Sedangkan Kemendikbud (2017) menjelaskan bahwa soal-soal HOTS merupakan instrumen pengukuran yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu kemampuan berpikir yang tidak sekadar mengingat ( recall ), menyatakan kembali ( restate ), atau merujuk tanpa melakukan pengolahan ( recite ). Soal-soal HOTS pada konteks asesmen mengukur kemampuan: 1) transfer satu konsep ke konsep lainnya, 2) memproses dan menerapkan informasi, 3) mencari kaitan dari berbagai informasi yang berbeda-beda, 4) menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah, dan 5) menelaah ide dan informasi secara kritis. Meskipun demikian, soal-soal yang berbasis HOTS tidak berarti soal yang lebih sulit daripada soal recall . Dilihat dari dimensi pengetahuan, umumnya soal HOTS mengukur dimensi metakognitif, tidak sekadar mengukur dimensi faktual, konseptual, atau prosedural saja. Dimensi metakognitif menggambarkan kemampuan menghubungkan beberapa konsep yang berbeda, menginterpretasikan, memecahkan masalah ( problem solving ), memilih strategi pemecahan masalah, menemukan ( discovery ) metode baru, berargumen ( reasoning ), dan mengambil keputusan yang tepat.
Karakteristik HOTS
Karakteristik HOTS sebagaimana diungkapkan oleh Resnick (1987, p.3) diantaranya adalah non algoritmik , bersifat kompleks, multiple solutions (banyak solusi), melibatkan variasi pengambilan keputusan dan interpretasi, penerapan multiple criteria (banyak kriteria), dan bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha). Karakteristik keterampilan berpikir tingkat tinggi mencakup berpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis dan kreatif merupakan dua kemampuan manusia yang sangat mendasar karena keduanya dapat mendorong seseorang untuk senantiasa memandang setiap permasalahan yang dihadapi secara kritis serta, mencoba mencari jawabannya secara kreatif sehingga diperoleh suatu hal baru yang lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupannya.
Kemendikbud (2017, p.9-13) secara rinci memaparkan karakteristik soal-soal HOTS sebagai berikut:
1. Mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
Keterampilan berpikir tingkat tinggi, termasuk kemampuan untuk memecahkan masalah ( problem solving ), keterampilan berpikir kritis ( critical thinking ), berpikir kreatif ( creative thinking ), kemampuan berargumen ( reasoning ), dan kemampuan mengambil keputusan ( decision making ). Dalam taksonomi Bloom membutuhkan kemampuan untuk menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan membuat (C6). Sedangkan The Australian Council for Educational Research ( ACER , 2015 ) menyatakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan proses: menganalisis, merefleksi, memberikan argumen (alasan), menerapkan konsep pada situasi berbeda, menyusun, menciptakan. Kreativitas menyelesaikan permasalahan dalam HOTS , terdiri atas: (a) kemampuan menyelesaikan permasalahan yang tidak familiar; (b) kemampuan mengevaluasi strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda; dan (c) menemukan model-model penyelesaian baru yang berbeda dengan cara-cara sebelumnya.
Dengan demikian, soal-soal HOTS belum tentu soal-soal yang memiliki tingkat kesukaran yang tinggi. Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dilatih dalam proses pembelajaran di kelas. Oleh karena itu agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, maka proses pembelajarannya juga memberikan ruang kepada peserta didik untuk menemukan konsep pengetahuan berbasis aktivitas. Aktivitas dalam pembelajaran dapat mendorong peserta didik untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis.
2. Berbasis permasalahan kontekstual
Soal-soal HOTS merupakan asesmen yang berbasis situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, dimana peserta didik diharapkan dapat menerapkan konsep-konsep pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan masalah. Permasalahan kontekstual yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini terkait dengan lingkungan hidup, kesehatan, kebumian dan ruang angkasa, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam pengertian tersebut termasuk pula bagaimana keterampilan peserta didik untuk menghubungkan ( relate ), menginterpretasikan (interprete), menerapkan (apply) dan mengintegrasikan (integrate) ilmu pengetahuan dalam pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan permasalahan dalam konteks nyata.
Experiencing , asesmen yang ditekankan kepada penggalian ( exploration ), penemuan ( discovery ), dan penciptaan ( creation ).
3. Tidak rutin (tidak Akrab)
Penilaian HOTS bukan penilaian regular yang diberikan di kelas. Penilaian HOTS tidak digunakan berkali-kali pada peserta tes yang sama seperti penilaian memori (recall), karena penilaian HOTS belum pernah dilakukan sebelumnya. HOTS adalah penilaian yang asing yang menuntut pembelajar benar-benar berfikir kreatif, karena masalah yang ditemui belum pernah dijumpai atau dilakukan sebelumnya (Widana, 2016, p.6).
4. Menggunakan bentuk soal beragam
Bentuk-bentuk soal yang beragam dalam sebuah perangkat tes (soal-soal HOTS ) sebagaimana yang digunakan dalam PISA , bertujuan agar dapat memberikan informasi yang lebih rinci dan menyeluruh tentang kemampuan peserta tes. Hal ini penting diperhatikan oleh guru agar penilaian yang dilakukan dapat menjamin prinsip objektif. Artinya hasil penilaian yang dilakukan oleh guru dapat menggambarkan kemampuan peserta didik sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Penilaian yang dilakukan secara objektif, dapat menjamin akuntabilitas penilaian.
Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan HOTS dan Karakter Siswa
Salah satu model pembelajaran yang direkomendasikan dalam Kurikulum 2013 yang dapat digunakan untuk meningkatkan HOTS yaitu problem based learning (PBL) (Weissinger, 2004; Arends, 2012). Pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa yang mengorganisasikan kurikulum dan pembelajaran dalam situasi yang tidak terstruktur dan memberikan masalah dunia nyata (Mergendoller, Maxwell & Belissimo, 2006; Massa, 2008; Arends & Kilcher, 2010). Karakteristik masalah yang diajukan dalam PBL berupa masalah autentik yang dijadikan tonggak untuk melakukan investigasi dan penemuan (Arends, 2012).
Dalam hal pemecahan masalah, Sujak (2005) dan Surya-Dharma (2009) menyatakan bahwa para pendidik prihatin terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa-siswa Indonesia. Dari 100 siswa yang dikirim mengikuti lomba tingkat internasional yang diselenggarakan PISA (Program for International Students Assessment), 73 di antara 100 siswa yang dikirim berada di bawah level yang paling bawah (level 1). Hal itu menunjukkan bahwa siswasiswa Indonesia belum mampu memecahkan masalah dengan baik, atau kemampuan pemecahan masalahnya sangat rendah. Dalam hal pemecahan masalah, Ruseffendi (1991: 291) menyatakan bahwa pemecahan masalah bukan hanya diperlukan dalam pelajaran Matematika tetapi pada semua pelajaran (ilmu) terutama yang terkait dengan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Suyitno (2006:25) yang mengutip pendapat Wiederhold, menyatakan bahwa model pemecahan masalah dipandang sebagai model pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir tinggi (HOT). Model pemecahan masalah dengan pola berpikir tinggi akan membawa siswa pada pengalaman siswa menggunakan pengetahuan serta keterampilan secara maksimal untuk dapat diterapkan dalam hal pemecahan masalah yang tidak rutin, penemuan pola pemecahan, perampatan hasil serta kemampuan komunikasi yang baik, sehingga kebermaknaan belajar akan lebih terasa.
Selain itu dalam praktiknya, penerapan PBL menuntut agar siswa berkolaborasi dan mengatur pembagian tugas antar siswa (Arends & Kilcher, 2010). Jika dikaitkan dengan pendidikan karakter, adanya investigasi dan penemuan dalam PBL dapat memfasilitasi siswa untuk meningkatkan kerja keras, ketekunan, kedisiplinan, dan kepercayaan diri, sedangkan dengan adanya kolaborasi dan pengaturan pembagian tugas antar siswa dapat melatih siswa untuk peduli, bekerja sama, bertanggung jawab, dan memiliki toleransi antar sesama.
Dengan demikian implementasi PBL dapat meningkatkan HOTS sekaligus karakter siswa. Secara operasional PBL dilaksanakan melalui sintaks: (1) mengorientasi siswa pada masalah; (2) mengorganisasi siswa untuk belajar; (3) membimbing penyelidikan yang dilakukan secara individu maupun kelompok; (4) mengembangkan dan menyajikan penyelesaian masalah; dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Arends, 2012). Senada dengan pendapat tersebut Jonassen (2011) mengemukakan bahwa sintaks PBL meliputi “problem focused, student-centered, self-directed, and self reflective”. Mencermati kedua pendapat ahli tersebut dapat dipahami bahwa implementasi PBL menuntut adanya berbagai aktivitas berpikir melalui penyajian masalah. McMahon (2007) melakukan penelitian dengan melaksanakan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk mengikuti berbagai aktivitas berpikir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan berpikir siswa meningkat ditinjau dari keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Selain itu, pembelajaran berbasis masalah akan memberikan pengetahuan yang lebih lama kepada siswa dibandingkan dengan pembelajaran tradisional, meskipun yang dipelajari lebih sedikit (Udent & Beamout, 2006; Fatade, Mogari, Arigbabu, 2013; Ajai, Imoko, O’kwu, 2013). Senada dengan hasil tersebut, problem-based learning menjadi lebih mudah dilaksanakan dalam pembelaharan matematika (Fatokun & Fatokun, 2013; Udi & Cheng, 2015), dan meningkatkan motivasi belajar siswa (Etherington, 2011), meningkatkan prestasi dan sikap siswa dalam pemahaman konsep dan mengurangi miskonsepsi (Akinolu & Tandogan, 2007), meningkatkan pemahaman dan keterampilan siswa untuk diterapkan di kehidupan nyata (Padmavathy & Mareesh, 2013).
Berbagai kajian menunjukkan bahwa PBL dipercaya dapat meningkatkan HOTS siswa. Bahkan dengan mencermati karakteristiknya, PBL juga dapat digunakan untuk memfasilitasi pendidikan karakter. Hal inilah yang salah satunya melatarbelakangi dilakukannya penelitian pengembangan perangkat pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan HOTS dan karakter siswa, sebagaimana dilakukan oleh Musfiqi (2015). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dihasilkan memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif.
Namun demikian, efektivitas dari pemanfaatan perangkat tersebut dalam skala yang lebih luas masih perlu dibuktikan. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas pemanfaatan perangkat pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan HOTS dan karakteristik siswa.