Oleh: Eka Sugeng Ariadi, S.Pd.
Guru MAN 1 Pasuruan
Beralih sejenak dari ingar-bingar dunia politik, beberapa waktu lalu, dunia hiburan negeri ini sedang riuh rendah dengan jargon “Cendol Dawet”. Silakan tersenyum, itu artinya kita bahagia. Ditelisik dari laman Wikipedia, es cendol merupakan minuman tradisional yang rasanya manis dan gurih khas Indonesia, ada yang terbuat dari tepung hunkwe ada juga dari tepung beras, disajikan dengan es parut serta gula merah cair dan santan (baca di https://id.wikipedia.org/wiki/Es_cendol). Uniknya, begitu mendengar lagu apa pun yang dijejali senggakan “Cendol Dawet”, banyak yang langsung autojingkat, apalagi dipadukan dengan lagu-lagu ambyar-nya, Didi Kempot, The God Father of Brokenheart. Lengkap jargonnya seperti ini, “Cendol dawet, cendol dawet seger. Cendol cendol dawet dawet. Cendol cendol dawet dawet. Cendol dawet seger piro? lima ngatusan. Terus? gak pake ketan. Ji ro lu pat nem pitu wolu. Tak gintang-gintang. Tak gintang-gintang. Tak gintang-gintang. Slolololo. Josss.”
Publik bisa berterima kasih pada Agus Purwanto, populer dengan panggilan Abah Lala, seorang penyanyi dangdut asal Boyolali dengan grup orkesnya MG86 Production. Ucapan terima kasih itu paling tidak ditujukan karena Abah Lala telah berjasa mempopulerkan kembali minuman tradisional murah, segar, dan lezat ini ke seluruh nusantara. Andai senggakan ini tidak ada, niscaya minuman tradisional ini akan terpendam oleh varian minuman-minuman impor. Padahal Balai Penelitian Bahan Alam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (BPTBA LIPI) sejak 2009 telah bekerja sama dengan 30 UKM dan melahirkan 42 produk makanan kemasan tradisional Nusantara. Makanan tradisional yang sudah berhasil dikemas kalengan ini bisa bertahan dalam durasi waktu 1 tahun lebih sehingga layak ekspor. Semoga setelah ini, LIPI berhasil mengemas es cendol dawet hingga layak untuk ekspor ke luar negeri. Pelajaran pertama ini dari sisi ekonomi adalah tentang pentingnya peran kreativitas seseorang mempopulerkan kuliner minuman tradisional melalui melalui lirik senggakan pada sebuah lagu sehingga memungkinkan peneliti-peneliti untuk mengemasnya menjadi lebih baik lagi.
Pelajaran kedua dari sisi pendidikan adalah menilik cerita dibalik jargon ini dan tujuan penciptaannya. Tentu, pernyataan Abah Lala sebagai pencipta jargon penting untuk diperhatikan. Dalam beberapa berita online, diceritakan, “Itu pertama kita serukan dalam acara dangdut. Cendol..! dawet!, cendol..! dawet!, cendol..! dawet! Dulu hanya itu, cuma ada cendol dawet. Terus ditambahi cendol dawet seger, piro? (berapa) lima ratusan,” ucap Abah Lala. Kata lima ratusan sendiri, diambil saat membeli cendol dawet dengan harga Rp.500 di tukang sayur. Dengan harga segitu, Abah Lala hanya dapat cendol dawet tanpa ketan dan dibungkus plastik. Jadilah kemudian jargon lengkapnya seperti di paragraf awal.
Lalu tujuannya menurut Abah Lala antara lain: mengubah citra negatif pada beberapa senggakan lirik lagu dangdut menjadi senggakan yang positif, mencipta lirik lagu yang positif bisa dinikmati oleh anak-anak kecil sekalipun, dan menghindarkan mereka dari menyanyikan lirik lagu yang kurang pantas untuk disenandungkan. Intinya, niat dan tujuan suatu perbuatan menentukan hasil akhir yang diinginkan. Niat dan tujuan positif Abah Lala serasa terjadi pula pada Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dengan slogan Merdeka Belajar, Nadiem membuat empat “senggakan” sebagai program unggulannya di sela-sela kemapanan sistem pendidikan yang ada.
“Senggakan” pertama, tahun 2020 format ujian sekolah berstandar nasional (USBN) yang dijalankan selama ini akan diganti dengan ujian (asesmen) yang dilenggarakan oleh pihak sekolah sendiri sehingga guru dan sekolah lebih merdeka menilai hasil belajarnya. “Senggakan” kedua, tahun 2021 ujian nasional (UN) diubah jadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. “Senggakan” ketiga, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang hanya satu lembar, agar guru tidak terbebani terlalu banyak komponen yang ditulis dan dirinci. Guru diberi kemudahan, kebebasan memilih dan mengembangkan format RPP yang efektif serta efisien sehingga ada waktu yang cukup bagi guru untuk mengevaluasi proses pembelajarannya. Terakhir, “senggakan” keempat, zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) lebih fleksibel, yaitu dengan menaikkan kuota jalur prestasi dari sebelumnya 15% menjadi 30% dalam hal literasi dan numerasi untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Lalu, apa sebenarnya niat utama Nadiem? Disuarakan oleh Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, Ade Erlangga, niat Menteri Nadiem seperti ini, “Kita dari Kemendikbud ingin menciptakan suasana belajar di sekolah yang happy (bahagia) . Makanya, tag-nya Merdeka Belajar”. Intinya, jika suasana di sekolah sudah bahagia, maka seluruh warga sekolah, antara lain: guru, siswa, pegawai, dan tentunya orang tua siswa turut merasakan kebahagiaan itu. “Semakin merdeka semakin bahagia” barangkali ujaran ini akan disukai oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia pendidikan, sebagaimana jargon “Cendol Dawet” dijuga digemari masyarakat luas.
Pelajaran terakhir dari sisi inspirasi kehidupan. Ide atau inspirasi itu bisa didapatkan di mana saja, tidak harus pergi jauh-jauh ke luar kota atau luar negeri, cukup dari mengamati dan merasakan secara lebih mendalam apa-apa yang ada lingkungan sekitar kita. Tidak mudah memang untuk menemukannya, diperlukan kejelian dan kepekaan. Namun, ide atau inspirasi yang berhasil ditemukan tersebut hanya akan menjadi sangat bernilai dan berharga jika orang tersebut mau bersusah payah memasukkannya dalam proses kreativitasnya. Semakin unik kreativitas yang membalut ide/inspirasi itu dibuat, maka produk akhirnya pun akan menjadi masterpiece (karya besar). Ya, sebagaimana kisah “Cendol Dawet” di atas. Meski secara nilai rupiah harga es cendol ini sangat murah, akan tetapi begitu menjadi sebuah masterpiece, nilai karyanya bisa menjadikan Abah Lala bergelimang rupiah. Bagaimana dengan kita? Mau es cendol, eh, mau kreatif? Harus mau ya!.