Matematika Dipelukan Sastra

Matematika Dipelukan Sastra

Oleh: Eka Sugeng Ariadi, S.Pd.

Guru MAN 1 Pasuruan

Galibnya, Matematika bukan mata pelajaran yang menyenangkan, tetapi itu dulu. Seketika pembelajaran ini dimulai, hati beranjak gundah, pikiran mulai melayang, beterbangan ke dunia lain, pandangan ingin selalu ke luar jendela, dan berharap segera bel ganti pelajaran atau berbunyi tanda pulang. Namun, itu dulu. Dengan dua kalimat utama di atas, siapa pun sudah bisa menerka bahwa nilai Matematika saya selalu merah. Sekali lagi, itu puluhan tahun yang lalu.

Hasadkah? Tentu tidak, karena dengan Matematika, aku bisa menghitung jumlah pendapatan dan pengeluaran dari pekerjaan. Bahkan semua urusan hidup dan matiku (dosa dan pahala) yang tercantol dengan urusan angka-angka bisa kupahami atas jasa mata pelajaran ini. Dosa dan pahala sering kali disertai hitungan angka-angka. Suatu hari ingin rasanya mengaji tentang Matematika dosa dan pahala. Sececah kesimpulan yang bisa kutatah saat ini, ternyata meski tidak menyenangkan bukan berarti unfaedah.

Kini, hati-pikiran-pandangan dan sikapku berubah 360 derajat. Mata pelajaran ini terlalu memesona untuk tidak kujamah. Sulitnya menghafalkan rumus-rumus, akar pangkat, dan lain-lain atau bahkan langkah penyelesaian hanya satu soal yang seringnya menghabiskan sehalaman buku, rasanya taklagi aral. Toh, jika memang sehalaman bisa membuatku terpanah, apatah artinya semua halaman buku catatan habis untuk deretan angka. Kiranya, beberapa paragraf berikut anggaplah secercah kirana setelah bertahun-tahun trauma dengan Matematika.

Paling tidak ada tiga ‘dunia’ Matematika yang ingin kubabarkan dalam beberapa paragraf berikut. Tiga ‘dunia’ itu antara lain Matematika Hiburan, Matematika Pengetahuan, dan Matematika Kesusastraan. ‘Dunia’ Matematika Hiburan, menurutku, berperan sebagai agen perubahan. Pasti Anda tahu Papa Zidan yang viral beberapa waktu lalu dengan slogan uniknya “Matematika itu Mudah dan Menyenangkan Bukan? Bukan!” Keunikan pilihan kalimat tanya yang dibuat Papa Zidan dalam proses pembelajarannya, yang kemudian dijawab sendiri dengan pilihan kata jawaban yang membagongkan, justru menjadi daya tarik yang luar biasa. Gambaran suasana belajar Matematika yang semula dibayangkan penuh dengan keheningan dan cenderung mencekam menjadi ambyar. Pilihan bahasa, pilihan kata dalam kalimat ini pula yang disukai oleh para pembawa acara atau komedian di beberapa stasiun televisi ber-rating tinggi di negeri ini. Itulah keelokan bahasa yang diolah dalam mata pelajaran nonbahasa.

Perlukah pendidik Matematika di mana pun berada bertingkah yang sama? Mungkin tidak perlu. Namun, sekadar ungkapan perasaan dan sejumput perubahan dalam kehidupan saya ini benar-benar lantaran Matematika Hiburan. Asa hari ini dan berikutnya, aku yang hanya seorang guru bahasa berharap Matematika Hiburan bisa menjadi pembuka proses pembelajaran di kelas-kelas nyata atau maya. Semoga ada Papa Zidan-Papa Zidan yang lain atau mungkin akan menyusul ada Mama Zidan yang lebih gokil. Semoga.

Adapun ‘dunia’ Matematika Pengetahuan yang memengaruhi tergerainya kegalauan dan keruwetan hidup ini berawal dari tayangan di YouTube tahun 2012 tentang Asal Usul Mengapa Matematika Selalu Menggunakan X yang disiarkan di acara TEDTalks. Penyampainya adalah Terry Moore, Direktur Radius Foundation di New York, Amerika.

Cerita singkatnya begini. Tahun 2006, Moore memutuskan untuk belajar Bahasa Arab, yang menurutnya bahasa yang sangat logis, membuat kalimat dalam Bahasa Arab seperti menyusun sebuah persamaan Matematika. Beberapa naskah Bahasa Arab yang berisi ilmu matematika sampai di Eropa (abad ke-11 dan 12) kemudian diterjemahkan ke bahasa mereka, namun masalahnya, ada beberapa huruf bahasa Arab tidak mampu diwakili. Salah satu nya adalah huruf ش (huruf syin), yang dalam Bahasa Inggris dianggap sebagai sheen dengan transliterasi ‘sh’. Huruf ini merupakan huruf pertama dari kata شيء , shaiun, yang berarti ‘sesuatu’ seperti dalam kata Bahasa Inggris ‘something’; yaitu hal yang tidak terdefinisi, yang tidak diketahui.

Untuk menyelesaikan masalah ini, para cendekiawan Spanyol Abad Pertengahan yang bertugas menerjemahkan kemudian menciptakan aturan di mana mereka meminjam bunyi ‘ck’, dari Bahasa Yunani klasik dalam bentuk huruf χ, yaitu huruf ‘chi’. Setelah hal tersebut terjadi, sumber-sumber ini menjadi buku teks dasar dalam matematika selama hampir 600 tahun.

Di sinilah, hati ini berdegup kencang seraya bertasbih dan bertakbir. Bergumam dalam bibir betapa bahasa agamaku dan para ilmuwan, kakek moyangku, sangat mencintai dan sangat berjasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia barat, bahkan di seluruh dunia. Terminasinya, takprasaja rasanya bila aku sendiri takjua memberahinya.

Sedangkan ‘dunia’ Matematika Sastra, lambat laun menjelakkan jiwa raga. Inilah azam yang telah lama terpendam, menulis tentangnya, Matematika berkelindan dengan Sastra. Bentuk soal cerita dalam Matematika sudah kaprah dijumpai, namun persoalan Matematika yang hadir dalam sebuah cerita pendek atau puisi, bahkan novel, sepertinya belum lumrah. Salah satu novel keren dan inspiratif berjudul  Buku Panduan Matematika Terapan. Ingat! Ini novel ya bukan buku pelajaran, yang kemudian menjadi juara satu di UNNES International Writing Novel Contest 2017. Cuplikan di halaman 21 sebagai berikut.

Hidup terkadang seperti kurva parabola. Kamu menginginkan sesuatu. Kamu datang mendekat padanya dengan penuh harapan. Ternyata ia mengusirmu, menjauh bahkan sebelum kamu bersentuhan dengannya. Kejam. Apa yang kamu mau justru tak mau kamu ada. Ia membuang muka, berpantang sudi. Begitulah. Tanpa bersentuhan lagi, tanpa pamit, tanpa niat untuk mundur, dan tanpa tolehan sama sekali, …”.

Dalam novel ini menceritakan seorang Mantisa, anak gadis yang tinggal di panti asuhan. Dia bukan gadis biasa karena selalu banyak tanya. Suka penasaran hingga dia memiliki keistimewaan bisa menghitung tetes air hujan.



Tokoh utama berikutnya, Prima, seorang anak genius yang tunarungu. Ibunya begitu menyayanginya dan mengajarinya dengan cara khusus. Keduanya dipertemukan oleh Tarsa yang kemudian mereka penasaran untuk memecahkan konsep P-NP (sesuatu yang bisa diperhitungkan-sesuatu yang tidak bisa diperhitungkan). Camkan halaman 115!

Cuma ada dua cara menjelaskan matematika. Satu, dengan perhitungan sampai dapat. Dua, dengan mencoba-coba. Tidak ada pilihan ketiga. Bagiku, novel ini sesuatu banget, menarik sekaligus menggelitik. Memaku batin dalam keindahan Matematika yang berkelindan dengan Sastra. Lebih lanjut, kisah Mantisa dan Prima akan lebih romantis bila kusematkan unggahan dari akun Instagram @ngajimatematika berikut ini.